Malam.

Malam.

Ia bagaikan kata dalam tiap tulisan yang aku tulis, seperti lirik dalam lagu favorit, seperti novel yang ku baca berulang, dan seperti anugrah yang aku syukuri tiap harinya. –

Malam membuatnya begitu puitis. Ia selalu percaya bahwa malam adalah waktu disaat rindu mulai menghampiri, saat pertanyaan satu per satu muncul dalam pikiran, saat doa diam-diam dipanjatkan. Saat itu, malam.

Malam menjadikan jiwa begitu tenang namun gundah, membuat pikiran terus bertanya, membuatku membayangkan segala kemungkinan yang hidup tawarkan.

Malam adalah waktu terbaik untuk menulis – sepi dan sunyi, hanya bunyi tuts keyboard yang terdengar atau mungkin ungkapan rindu yang tidak terekspresikan.

Malam adalah waktu dimana jiwanya berkelana, dimana jiwanya merindu belahan jiwa dibelahan dunia sana, dimana tulisan menjadi satu-satunya media pengungkap rasa.

Malam…dimana jiwa yang berbeda dan berjauhan secara diam-diam saling mendoakan dan berharap untuk bersama. Dimana jiwanya merespon dengan jiwa yang ia cintai – merespon dalam diam dan sunyi, merespon dengan cepat seperti angin, merespon dengan hati-hati.

Malam…ketika jiwa mulai merasa kosong, ketika jiwa mulai meminta kepingan lain untuk mengisi, ketika sunyi ingin digantikan dengan tawa.

Malam, ketika penat dan beban pikiran begitu mendominasi diri, tapi aku mampu menulis ini. Malam, ketika sepi menjadi teman. Dan malam, ketika pikiranku melayang jauh menghampiri jiwamu.

Dear you, the one I want to say good night to. One night, we will be together and reading this. And you will laugh and hate me for being so cheesy.

And we will look at the stars together and we will be thankful because finally, we are one.